masukkan script iklan disini
radarhukum.site, Jakarta - Riski Agussalim Siregar, Sekretaris Eksekutif Sumut Institute for Development (SUDE), menyatakan bahwa audit ini harus dijalankan secara profesional, transparan, dan berbasis fakta hukum, bukan sebagai respons terhadap opini publik atau tekanan massa.
“Audit bukan kriminalisasi. Ia adalah instrumen untuk memastikan kepatuhan terhadap hukum, lingkungan, dan hak masyarakat. Namun yang tidak kalah penting, proses ini harus profesional, transparan, dan berbasis data. Tidak boleh didahului praduga bersalah atau terjebak narasi publik yang prematur,” ujar Riski melalui siaran pers, Kamis, 19/12/2025.
Riski menegaskan, audit yang dilakukan dengan praduga bersalah hanya akan mengubah proses hukum menjadi legitimasi bagi prasangka sosial. Negara hukum harus jelas: jika terbukti melanggar, tindak tegas; jika patuh, hentikan seluruh narasi ketidakadilan yang membebani pelaku usaha.
“Tidak adil membiarkan dunia usaha berada dalam posisi ‘terdakwa sosial’ tanpa putusan hukum yang sah. Ini bukan soal satu perusahaan saja, tapi soal kepastian hukum dan kredibilitas negara. Dunia usaha adalah bagian dari ekosistem pembangunan nasional. Menjaga iklim investasi yang sehat dan rasa aman bagi pelaku ekonomi adalah mandat konstitusional pemerintah,” lanjut Riski.
Riski juga menyoroti perlunya skema mitigasi bagi pekerja terdampak. Ribuan pekerja bergantung pada keberlangsungan TPL. Negara wajib hadir tidak hanya dengan sanksi, tetapi juga perlindungan sosial agar penegakan hukum tidak menimbulkan ketidakadilan baru.
“Jika audit menunjukkan TPL patuh hukum, negara harus meluruskan opini publik, menghentikan tuduhan, dan memulihkan martabat hukum. Jika terbukti bersalah, negara bertindak tegas. Keadilan harus berlaku dua arah,” tegas Riski.
Pada titik ini, Riski menekankan, kepemimpinan Presiden diuji dalam menyeimbangkan penegakan hukum dengan kepastian dan rasa aman masyarakat. Negara hukum bukan negara tekanan; audit TPL harus menjadi contoh bahwa hukum menjadi panglima, bukan sekadar alat meredam opini publik.
“Negara harus menunjukkan bahwa penegakan hukum tidak menciptakan ketakutan, tapi menegakkan keadilan yang adil dan transparan,” tutupnya. (Red)





