• Jelajahi

    Copyright © RADAR HUKUM
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Redaksi

    1O Nov

    PGRI MILIK SIAPA....? (Sebuah Refleksi Untuk Organisasi Guru Tertua di Indonesia)

    REDAKSI
    Senin, 24 November 2025, November 24, 2025 WIB Last Updated 2025-11-25T05:42:50Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Oleh : Ahmad Effendi Sibarani, S.Ag

    HARI ini, 25 November 2025, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) kembali memperingati dan merayakan hari ulang tahunnya ke-80. Demikian juga saya berulang tahun di tanggal 25 November, 48 tahun silam. Seperti biasa, selebrasi milad organisasi guru pertama dan terbesar di Nusantara ini, diisi dengan berbagai kegiatan, seperti jalan santai, mengenang jasa guru, acara ziarah, upacara, dan mungkin ada acara-acara lomba yang sifatnya just for fun.

    Selain itu, karena kita berada di era digital, di mana penggunaan gadget (gawai) sudah semakin lumrah, seperti ada momentum hari-hari besar, kita sudah terbiasa dan membiasakan diri mengirimkan ucapan selamat lewat pesan singkat (SMS), WhatsApp, dan bahkan di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram maupun twibbon dan lain-lain.

    Pengiriman ucapan selamat sebagai tanda bahwa kita adalah bangsa yang menghormati dan menghargai guru. Apalagi ketika merayakan hari ulang tahun PGRI itu, sekaligus merayakan Hari Guru Nasional (HGN). Kita doakan PGRI semakin berjaya dan menjadi perekat bagi para guru yang katanya sebagai pemilik organisasi profesi ini. Lalu, seperti apa PGRI pada usia 80 tahun ini?

    Melakukan refleksi Hari Ulang Tahunku yang ke 48 yang bertepatan dengan HUT PGRI ini,
    Guna menjawab pertanyaan itu, saya pribadi berharap kepada pengurus organisasi PGRI dan guru selayaknya melakukan refleksi, bercermin, melihat kembali apakah visi dan misi organisasi guru yang sudah 80 tahun ini masih sejalan atau relevan dengan kondisi saat ini dan kondisi di masa depan? PGRI memang harus berbenah, memotret diri, mengajak para guru untuk bercermin, apakah masih sesuai atau tidak, kemajuan apa yang sudah dibuat untuk memajukan pendidikan nasional, kesejahteraan para guru terutama guru guru yang bertugas di sekolah swasta dan khususnya kemajuan tuk daerahku Kota Tanjungbalai ini.

    Seiring dengan bermunculan berbagai organisasi guru di luar PGRI yang jumlahnya lumayan banyak, dimana guru-guru yang selama ini menjadi anggota PGRI daerah banyak yang ikut bergabung ke organisasi alternatif, seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan lain-lain hingga ke daerah daerah.  Organisasi guru alternatif ini malah selama ini sangat aktif melakukan kegiatan-kegiatan yang responsive terhadap guru khususnya guru honor/non PNS dan guru swasta.

    Begitu juga dengan Ikatan Guru Indonesia (IGI) yang terus bergerilya melakukan upaya peningkatan kapasitas guru lewat sejumlah kegiatan yang sangat memberdayakan guru, meningkatkan kapasitas guru lewat program literasi, melatih guru menulis hingga melahir guru-guru penulis buku.

    Sementara ada orang- orang yang mengatakan bahwa PGRI menjadi organisasi guru yang semakin tidak kreatif, tidak produktif, dan tidak advokatif terhadap anggotanya. PGRI sepertinya udah masuk pada stadium stagnan, sudah mentok. Mungkin karena sudah merasa mapan, sehingga tidak produktif lagi. Biasanya, kalau sudah enak berada di zona aman, kepedulian sesama guru, kreativitas dan produktivitas sering mati.

    Nah, ketika PGRI tampil semakin gemulai, maka selama ini banyak guru, terutama yang ingin berkembang memilih bergabung ke organisasi guru alternatif tersebut. Bila semakin banyak guru bergabung ke organisasi guru alternative tersebut, pertanyaan kita adalah apakah PGRI masih diperlukan, apakah PGRI hanya milik gabungan Guru guru yang statusnya PNS...?

    Pertanyaan tersebut penting dijawab, karena banyak peran yang seharusnya dilakukan atau dilaksanakan oleh PGRI kini malah dilakukan oleh organisasi guru alternatif, misalnya peningkatan kapasitas guru di bidang menulis, literasi dan lain-lain. PGRI sendiri kelihatan vakum, tanpa ada kegiatan yang memberdayakan anggotanya. Selayaknya pada HUT ke-80 ini PGRI senagai organisasi tertua bermuhasabah.

    Selain itu, ada masalah klasik yang hingga kini masih belum selesai. Sebuah pertanyaan reflektif yang selalu ditanyakan oleh anggota PGRI yang memiliki kepedulian dan sikap kritis; Milik siapakah PGRI itu? Mungkin, terasa aneh pertanyaan ini dilemparkan lagi, karena dilihat dari namanya saja sudah jelas bahwa organisasi ini adalah milik para guru. Seharusnya sebagai organisasi guru, PGRI adalah milik guru dan dipimpin oleh guru baik guru Non PNS maupun PNS. Namun, fakta sejarah hingga kini, organisasi besar ini tidak dipimpin oleh guru, tetapi oleh pejabat yang masih aktif di pemerintahan, mulai di tingkat pusat hingga ke daerah-daerah.

    Cobalah lihat dan ingat nama-nama pejabat yang memimpin PGRI di tingkat pusat. Kita akan menemukan nama Sulistyo, yang juga seorang anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2009-2014. Sebelumnya PGRI dikomandani oleh Prof Dr Mohamad Surya, juga seorang anggota DPD periode 2004-2009. Di tingkat daerah,banyak juga ketua PGRI maupun pengurusnya dijabat oleh pejabat, bukan guru. Posisi guru hanya sebagai anggota. Seharusnya, kalau para pejabat dinas mau menjadi ketua, bentuk saja organisasi penjabat sendiri. Bisa membuat nama baru, misalnya, Persatuan Pejabat Republik Indonesia (PPRI), bukan PGRI.

    Saatnya guru memimpin 
    Sudah saatnya PGRI membenah diri dan mendelegasikan tampuk kepemimpinnya kepada guru. Selama ini para guru tidak mendapatkan kemerdekaan dalam mengurus organisasi profesinya sendiri. Saatnya para pejabat yang mempimpin PGRI selama ini dengan cara legowo menyiapkan kader-kader dari kalangan guru untuk menjadi pemimpin. Bukan malah sebaliknya rangkap jabatan, yang kesannya rakus terhadap jabatan itu.

    Hari ini, yang juga dirayakan sebagai HGN selayaknya kita berikan penghargaan kepada para guru. Bukan penghargaan material seperti sertifikat, plakat dan sejenis lainnya saja, tetapi memberikan kepercayaan, penghormatan dan penghargaan kepada guru untuk menjadi pemimpin di kalangan guru itu sendiri. Berikan mereka kesempatan dan kepercayaan. Pasti ada di antara mereka yang memiliki kemampuan untuk memimpin.

    Jangan ada lagi seperti selama ini ketika ketua PGRI yang berstatus pejabat tersebut, tidak dapat menjalankan tugasnya, karena sesuatu hal, peralihan pucuk pimpinan PGRI juga diserahkan kepada pejabat yang masih aktif. Jadi, pertanyaannya lagi adalah kapan PGRI itu diserahkan kepada guru yang menjadi pemilik organisasi tersebut? Apakah guru memang tidak layak memimpin organisasi guru, karena tidak memiliki kapasitas kepemimpinan untuk memimpin PGRI?

    Terlalu naif bila tidak ada guru yang mampu mengurus organisasi guru. Yakinlah, banyak guru yang mampu. Masalahnya adalah karena selama tidak ada kerelaan, tidak kepercayaan dari para pejabat yang mengurus guru untuk memberikan kepercayaan itu kepada guru. Ada baiknya dilihat kasus-kasus pola relasi antara para guru dengan pemimpin atau pengurus PGRI selama ini.

    Disadari atau tidak, ketika PGRI dipegang oleh pejabat, banyak hambatan dan kendala yang dirasakan guru dalam menyampaikan aspirasi mereka. Satu kondisi buruknya adalah apabila ada pendapat guru yang berbeda, maka berhadapan dengan pejabat yang risikonya tinggi. Bisa saja gaji, serti, uang lauk pauk atau pangkat ditahan dan lain sebagainya. Dan harapan rekrutlah guru kontrak/ swasta yang non pns dalam menyampaikan aspirasinya dalam wadah ini.

    Kondisi semacam ini jelas tidak bisa membuat para guru di negeri ini, bisa muncul sebagai dirinya dan sebagai guru yang harus diteladani. Tentu banyak hal lain yang bisa digali, namun tidak mungkin semua termuat dalam satu tulisan singkat ini. Mari kita mengambil pelajaran, membenah diri dan menjadi teladan bagi semua orang.
    " Selamat Hari Guru Nasional...!!! "

    Salam Glady Wiyata
    LSM Mandiri Tanjungbalai (red AES)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini