• Jelajahi

    Copyright © RADAR HUKUM
    Best Viral Premium Blogger Templates

    1O Nov

    PEMILIH TERBESAR MENGAPA POLITIKNYA KECIL (?)

    REDAKSI
    Kamis, 20 November 2025, November 20, 2025 WIB Last Updated 2025-11-21T14:27:18Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    radarhukum.site - Medan “Selama umat hanya menjadi penentu kemenangan bagi pihak lain, perubahan tidak akan pernah datang. Tetapi begitu umat menyadari kekuatan politiknya dan menggunakannya secara strategis, peta kekuasaan Indonesia bisa berubah seketika”

    Umat Islam adalah pemilih terbesar di Indonesia. Setiap pemilu, kekuatan elektoral ini menjadi rebutan semua partai politik. Namun ada satu ironi yang terus berulang: suara umat Islam selalu menentukan kemenangan, tetapi tidak pernah menjadi pemenang.

    Sejarah hanya mencatat satu momen ketika umat memiliki kekuatan politik signifikan. Pada Pemilu 1955, Partai Masyumi memenangkan pemilu dan menjadi kekuatan utama parlemen. Setelah itu, dukungan umat mengalir justru kepada partai-partai nasionalis—partai yang tidak mendeklarasikan diri membawa aspirasi politik Islam.

    Menjelang pemilu, simbol-simbol Islam dipinjam sementara.
    Atribut religius memenuhi baliho, kegiatan bernuansa dakwah dipaketkan sebagai acara politik, dan tokoh-tokoh yang sehari-hari tidak dikenal dekat dengan isu umat mendadak tampil dengan jargon keislaman.

    Namun setelah suara terkumpul, gaya itu menghilang.
    Komitmen memperjuangkan kepentingan umat kembali kabur.
    Perubahan nasib yang dijanjikan tak pernah hadir secara nyata.
    Umat Islam kembali menjadi penonton dari panggung politik yang mereka ramai¬kan sendiri.

    Aksi besar 2016 di Jakarta sempat menunjukkan betapa dahsyat kekuatan sosial umat, jutaan orang berkumpul. Namun dua pemilu setelahnya, gelombang itu tidak pernah terkonversi menjadi kemenangan politik bagi partai-partai Islam. Kekuatan besar itu tetap tidak menjelma menjadi pengaruh elektoral.

    Padahal aspirasi umat hanya bisa diperjuangkan oleh mereka yang memenangkan pemilu. Menaruh harapan pada partai yang enggan mengaku membawa aspirasi Islam—bahkan hanya sekedar di atas kertas sekalipun—sama saja dengan menyerahkan masa depan pada pihak yang tidak pernah berniat memperjuangkannya.

    Lalu apa yang harus dilakukan? Hemat saya umat perlu menghindari jebakan kosmetik-politik berbasis simbol keagamaan. Yang harus diprioritaskan adalah program konkret, rekam jejak, dan keberpihakan nyata terhadap isu-isu umat—bukan retorika menjelang pemilu.

    Kesadaran politik mustahil tumbuh tanpa pemahaman. Umat perlu mendorong lembaga-lembaga pendidikan, majelis ilmu, dan organisasi kemasyarakatan untuk memperbanyak diskusi terkait hak-hak politik, sistem pemilu, serta posisi tawar umat dalam negara demokrasi.

    Dukungan politik seharusnya diarahkan pada pihak yang memiliki agenda jelas terkait kepentingan umat: keadilan sosial, ekonomi syariah, perlindungan terhadap nilai-nilai Islam, dan penegakan hukum yang adil. Konsolidasi ini tidak harus eksklusif, tetapi harus berbasis kepentingan, bukan sekadar kedekatan emosional.

    Jika umat ingin aspirasi diperjuangkan, mereka perlu mendukung lembaga-lembaga politik—baik partai maupun ormas—yang konsisten membawa isu umat. Bukan berpindah haluan setiap musim pemilu. Setiap dukungan harus dibarengi kontrak politik yang jelas, dapat diukur, dan dapat dievaluasi. Umat tidak boleh lagi memberikan dukungan gratis kepada partai yang setiap lima tahun hanya meminjam simbol-simbol Islam.

    Kesadaran politik mustahil tumbuh tanpa pemahaman. Umat perlu mendorong lembaga-lembaga pendidikan, majelis ilmu, dan organisasi kemasyarakatan untuk memperbanyak diskusi terkait hak-hak politik, sistem pemilu, serta posisi tawar umat dalam negara demokrasi.

    Dukungan politik seharusnya diarahkan pada pihak yang memiliki agenda jelas terkait kepentingan umat: keadilan sosial, ekonomi syariah, perlindungan terhadap nilai-nilai Islam, dan penegakan hukum yang adil. Konsolidasi ini tidak harus eksklusif, tetapi harus berbasis kepentingan, bukan sekadar kedekatan emosional.

    Jika umat ingin aspirasi diperjuangkan, mereka perlu mendukung lembaga-lembaga politik—baik partai maupun ormas—yang konsisten membawa isu umat. Bukan berpindah haluan setiap musim pemilu. Setiap dukungan harus dibarengi kontrak politik yang jelas, dapat diukur, dan dapat dievaluasi. Umat tidak boleh lagi memberikan dukungan gratis kepada partai yang setiap lima tahun hanya meminjam simbol-simbol Islam.

    Pertanyaan akhirnya kini berubah: Bukan lagi “kenapa umat selalu kalah?”, melainkan kapan umat Islam mulai serius mengelola kekuatannya sendiri?

    Selama umat hanya menjadi penentu kemenangan bagi pihak lain, perubahan tidak akan pernah datang. Tetapi begitu umat menyadari kekuatan politiknya dan menggunakannya secara strategis, peta kekuasaan Indonesia bisa berubah seketika. Alhasil kuncinya ada pada satu hal: kesadaran politik umat—bukan lagi sekadar jumlah suara. | Penulis Praktisi Hukum dan Wakil Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (red)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini