masukkan script iklan disini
Analisis Shohibul Anshor Siregar tentang Krisis Hukum, Moral, dan Peradaban Global
Medan, 2025
Dari Amazon hingga Afrika Tengah, dari Papua sampai Sumatera, dunia kini menghadapi babak baru peradaban: manusia melawan mesin ekonomi yang menebang bumi dengan lisensi legalitas. Korporasi ekstraktivis—dengan wajah kehutanan, tambang, atau perkebunan—menguasai daratan planet ini dengan kekuasaan yang melampaui negara.
Namun, di tengah suara geaji dan truk pengangku ada suara lain yang kerap dibungkam: suara rakyat yang menjaga hutan, air, dan tanah.
“Korporasi ekstraktivis merusak hutan, tapi aman. Rakyat yang melawan, justru ditangkap. Maka saya ingin bertanya kepada para sarjana hukum di seluruh dunia—apa arti hukum jika ia berdiri di sisi perusak kehidupan?” ujar Shohibul Anshor Siregar, pengamat politik, hukum, dan sosial dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, dalam refleksi terbarunya tentang krisis ekologi global.
Politik: Negara dalam Bayang Kapital
Dalam pandangan Shohibul, peradaban modern kini dikuasai oleh rezim ekstraktivisme global, di mana negara bertransformasi dari pelindung rakyat menjadi mitra korporasi.
“Kekuasaan politik bukan lagi berbasis legitimasi rakyat, tapi berbasis lisensi investasi,” ujarnya.
Dari proyek tambang lithium di Kongo, hutan Amazon yang dibuka untuk peternakan raksasa, hingga pembukaan konsesi sawit dan tambang nikel di Indonesia — pola yang muncul selalu sama: kekuasaan politik memberi izin, hukum memberi payung, aparat memberi perlindungan, sementara rakyat kehilangan tanah, air, dan ruang hidupnya.
Shohibul menyebut fenomena ini sebagai “neoliberal authoritarianism”: kombinasi kapitalisme global dan kontrol negara yang membungkam.
“Kita menyebutnya pembangunan, tapi sesungguhnya ini adalah kolonialisme tahap kedua — di mana modal menggantikan penjajah lama,” katanya.
Dalam teori politik kontemporer, ini sejalan dengan analisis David Harvey tentang accumulation by dispossession—proses di mana kapital menumpuk melalui perampasan. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, korporasi ekstraktivis menjadi alat utama mekanisme itu.
Ketika Legalitas Mengkhianati Keadilan
Dari perspektif hukum, Shohibul menilai dunia kini sedang menyaksikan “pengkhianatan institusional” terhadap prinsip hukum yang seharusnya melindungi kehidupan.
“Legalitas tidak selalu identik dengan keadilan. Dalam banyak kasus, izin korporasi sah di atas kertas, tapi batil secara moral dan ekologis,” katanya.
Dalam konteks Indonesia, ia menunjuk pada ironi UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan dan UU Cipta Kerja, yang menurutnya memperluas ruang operasi korporasi namun mempersempit ruang hidup masyarakat adat.
“Undang-undang kita kini lebih ramah pada investor ketimbang pada manusia dan hutan,” katanya.
Ia menyoroti pula bagaimana hukum internasional juga lemah dalam menahan korporasi global.
“Mahkamah Internasional tidak punya gigi menghadapi korporasi transnasional, karena yurisdiksinya berhenti di negara. Padahal yang merusak sering bukan negara, melainkan aktor ekonomi lintas batas,” jelasnya.
Di sini Shohibul mengingatkan teori Satjipto Rahardjo tentang hukum progresif: bahwa hukum sejatinya hidup untuk manusia, bukan sebaliknya.
“Kalau rakyat yang melawan kerusakan alam dipenjara, maka hukum sedang sakit. Hukum tanpa nurani bukan hukum, melainkan administrasi kekuasaan,” ujarnya tegas.
Rakyat, Perlawanan, dan Kriminalisasi
Shohibul melihat dari sudut sosiologi bahwa relasi antara rakyat dan negara kini diatur oleh logika ketakutan.
“Kita sedang menyaksikan globalisasi kriminalisasi rakyat,” katanya
Di India, petani menentang privatisasi lahan pertanian dan dikriminalisasi. Di Filipina, aktivis lingkungan dibunuh dengan tuduhan komunis. Di Amerika Latin, masyarakat adat diburu karena menolak tambang emas. Di Indonesia, masyarakat adat di Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera dipenjara karena mempertahankan tanah ulayatnya.
Menurut Shohibul, fenomena ini menggambarkan apa yang disebut Pierre Bourdieu sebagai symbolic violence—kekerasan yang dilembutkan oleh bahasa hukum dan administrasi.
“Negara memakai bahasa hukum untuk melegitimasi kekerasan terhadap rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat adat yang berupaya menjaga hutan justru disebut “penghalang pembangunan.”
“Mereka yang hidup paling ekologis malah dianggap paling primitif dan subversif,” katanya.
Ekonomi: Kolonialisme Baru di Balik Industri Hijau
Ironisnya, di era transisi energi global, korporasi ekstraktivis menemukan wajah baru: “kapitalisme hijau.”
Shohibul menegaskan bahwa proyek tambang nikel, lithium, dan kobalt untuk mobil listrik kini diklaim sebagai bagian dari solusi iklim, padahal justru memperluas kerusakan.
“Di satu sisi dunia berbicara dekarbonisasi, tapi di sisi lain mereka menggali bumi lebih dalam dari sebelumnya. Ini adalah ironi sejarah,” katanya.
Ia mencontohkan Indonesia yang kini menjadi episentrum tambang nikel global, tetapi di sisi lain menanggung beban ekologis besar di Sulawesi dan Halmahera.
“Kita menjadi korban dari apa yang disebut ecological unequal exchange—ketimpangan ekologis global,” jelasnya, merujuk pada teori sosiolog Stephen Bunker.
Korporasi ekstraktivis, kata Shohibul, telah menjelma menjadi entitas yang lebih kuat dari negara. Mereka memiliki diplomasi sendiri, aparat sendiri, bahkan pengaruh politik yang menembus kabinet.
“Korporasi bisa menentukan arah kebijakan, siapa yang jadi menteri, dan bagaimana hukum ditulis. Ini bukan teori konspirasi, ini realitas ekonomi politik global,” ujarnya.
Budaya dan Peradaban: Krisis Etika Manusia Modern
Shohibul menilai bahwa akar terdalam dari seluruh krisis ini adalah krisis etika peradaban.
“Kita hidup di zaman ketika manusia merasa berdaulat atas alam. Padahal, dalam kebudayaan lama — termasuk dalam falsafah Batak, Dayak, atau Indian Amerika— alam adalah saudara, bukan objek eksploitasi,” katanya.
Ia melihat globalisasi telah mencabut nilai spiritual dari
kebudayaan manusia.
“Kita mengganti kearifan dengan kalkulator, mengganti rasa syukur dengan target laba. Maka manusia kehilangan makna hidupnya,” ujarnya.
Dalam filsafat peradaban, Shohibul mengingatkan bahaya antropo-sentrisme ekstrem, di mana manusia menganggap dirinya pusat semesta.
“Ketika manusia menolak menjadi bagian dari alam, maka yang hancur bukan hanya hutan — tapi juga jiwa manusia itu sendiri,” katanya.
Refleksi: Dari Hukum ke Nurani
Menutup pandangannya, Shohibul kembali mengutip lirik abadi Ebiet G. Ade:
“Aku bertanya pada rumput yang bergoyang…”
“Kita sudah sampai di situ,” ujarnya lirih. “Ketika rakyat tak lagi bisa percaya pada penguasa, pada hukum, bahkan pada sesama manusia, maka satu-satunya tempat bertanya hanyalah rumput—makhluk kecil yang tetap bergoyang meski diinjak.”
Shohibul menyebut bahwa rumput adalah metafora kehidupan yang tak bisa dibungkam. “Rumput akan tumbuh bahkan di sela batu, karena kehidupan selalu mencari jalannya. Dan mungkin di situlah harapan terakhir manusia".
Dunia di Persimpangan
Dunia kini berada di persimpangan sejarah. Di satu sisi, teknologi dan kapital semakin kuat; di sisi lain, bumi semakin sekarat.
“Pertanyaannya bukan lagi tentang hukum, tapi tentang nurani: apakah kita masih punya keberanian moral untuk melawan sistem yang melegalkan kehancuran?” tanya Shohibul.
“Sebab kalau yang berdosa bebas, dan yang berjuang dipenjara, maka sesungguhnya kita sedang menyaksikan akhir dari peradaban yang kita bangun sendiri.”
Dikutip dari laman Facebook (red. F.H.L)







